Setelah gema takbir Idul Adha mereda dan hewan kurban disembelih dengan penuh khidmat, masyarakat Minangkabau di Sumatera Barat melanjutkan perayaan dengan sebuah tradisi yang sarat makna: Makan Bajamba. Tradisi ini bukan sekadar makan bersama. Ia adalah perayaan solidaritas, penghormatan kepada leluhur, dan wujud nyata filosofi hidup orang Minang: “adat basandi syarak, syarak basandi Kitabullah.”
Makan Bajamba berasal dari kata "bajamba" atau "berjamba", yang berarti makan bersama dalam satu tempat yang sama, biasanya di atas dulang atau talam. Tradisi ini telah diwariskan turun-temurun sejak ratusan tahun lalu di Minangkabau. Awalnya, tradisi ini muncul dalam konteks acara adat, seperti batagak panghulu, alem nagari, dan kenduri adat. Namun, seiring waktu, Makan Bajamba juga hadir dalam momentum keagamaan seperti perayaan Idul Adha, terutama setelah pembagian daging kurban selesai.
Tradisi ini mencerminkan prinsip kebersamaan dan kesetaraan. Dalam satu talam, tak ada perbedaan antara si kaya dan si miskin. Semua duduk bersila, berhadap-hadapan, dan menikmati sajian dengan penuh rasa hormat.
Biasanya, Makan Bajamba dilakukan di rumah adat atau balai desa. Kaum ibu menyiapkan berbagai hidangan khas Minang: rendang, gulai tambusu, dendeng batokok, dan tentu saja daging kurban yang diolah menjadi sajian istimewa. Makanan disusun rapi dalam talam besar, lalu dibawa ke ruang utama tempat para peserta duduk bersila dalam barisan.
Sebelum makan dimulai, biasanya ada pembacaan doa atau petuah adat oleh tokoh masyarakat atau ninik mamak. Kemudian, makanan disantap bersama, dengan sopan santun yang sangat dijaga. Makan tidak tergesa-gesa, melainkan dalam suasana penuh khidmat dan kebersamaan.
Meski zaman telah berubah, tradisi Makan Bajamba masih bertahan di banyak daerah di Sumatera Barat. Beberapa sekolah dan instansi pemerintahan bahkan menjadikannya sebagai bagian dari acara tahunan untuk memperkenalkan kembali kearifan lokal kepada generasi muda. Namun, tantangan tetap ada: budaya instan dan individualistik zaman kini mengancam nilai-nilai luhur yang terkandung dalam tradisi ini.
"Hal yang paling bikin seneng abis shalat idul adha, ya makan bajamba. Seru banget makan bareng di satu tempat yang sama, bisa makan dengan menu yang bermacam-macam dan juga bisa lebih mengenal sama masyarakat setempat," ungkap Nur Afni, remaja berusia 23 tahun.
Oleh karena itu, pelestarian Makan Bajamba bukan hanya tugas para tetua adat, tapi juga generasi muda yang harus mengenali, menghargai, dan meneruskan warisan budaya ini.
penulis: Syifa Aprilis
editor: Pretti Sinta Mahendra