Kabut pagi belum sepenuhnya sirna
dari permukaan Danau Singkarak saat aroma bumbu mulai mengepul dari dapur kayu
milik Uni Leni. Di dapur kecil itu, perempuan berusia 52 tahun itu sedang
mengaduk perlahan sebuah panci berisi ikan bilih segar yang baru ditangkap
suaminya semalam. “Ikan bilih tak bisa lama disimpan, manja dia,” katanya
sambil tersenyum, tangan tetap sibuk meracik bumbu. “Makanya harus langsung
dimasak biar rasa segarnya tetap terasa.”
Pangek ikan bilih, masakan khas
Minangkabau, tak hanya menggugah selera tapi juga menyimpan filosofi hidup
masyarakat sekitar danau. Tak seperti gulai yang bersantan, pangek dimasak
tanpa santan, mengandalkan bumbu alam seperti kunyit, jahe, bawang, cabai, dan
asam kandis. Proses masaknya perlahan, dengan api kecil, supaya bumbu meresap
sempurna ke setiap serat ikan. “Pangek ini warisan dari nenek saya,” lanjut Uni
Leni. “Dulu, ini makanan sehari-hari karena ikan bilih gampang didapat.
Sekarang makin mahal, makin langka.”
Ikan bilih, kecil dan
sederhana, namun begitu berharga. Ia hanya hidup di Danau Singkarak, tak ada
di tempat lain. Karena itu, ia bukan cuma ikan, tapi bagian dari jantung alam
dan budaya di sini. Meski ukurannya mungil, kandungan gizinya luar biasa:
tinggi protein, rendah lemak, dan cocok untuk siapa saja yang ingin makan sehat
tanpa kehilangan rasa. Dulu, pangek ikan bilih hanya hadir di dapur-dapur
rumah. Tapi sekarang, para pelancong pun mulai mencari rasanya. Rumah makan
tradisional di sekitar danau banyak yang menjadikannya sajian utama. Namun,
bagi warga setempat, pangek bukan sekadar menu. Ia adalah simbol dari
kesederhanaan hidup, kerja keras, dan cinta yang dalam pada alam.
Di sebuah sudut rumah
panggung, Uni Leni menata sepiring pangek di atas meja kayu yang sudah lama
menua bersama waktu. Matanya menatap ke arah danau tenang, luas, dan penuh
cerita. “Selama bilih masih ada,” katanya pelan, “pangek akan tetap jadi cerita
hidup kami.” Dan benar saja, dalam tiap suapan pangek ikan bilih, terasa
kehangatan tangan yang meraciknya, terasa kasih sayang yang tumbuh dari tanah
dan air, terasa ketulusan yang tidak dibuat-buat. Seperti Danau Singkarak itu
sendiri diam, tapi menyimpan banyak makna.
penulis: Aisyah Mardhiyyah
editor: Ferdyan, Brenda, Pretti, Muharni