Anco: Tampah Bambu yang Menyimpan Jejak Tradisi Minangkabau

 

source: Tokopedia.com

Di balik aroma nasi yang baru ditanak atau beras yang dijemur di halaman, ada salah satu alat yang sering luput dan hampir punah eksistensinya yaitu, Anco. Bagi sebagian orang, anco mungkin hanya tampah bambu bulat biasa, namun bagi masyarakat Minangkabau, alat ini merupakan bagian penting dari tradisi dan kearifan lokal yang diwariskan turun-temurun.


Anco merupakan tampah bulat yang dianyam menggunakan bahan utama yaitu, bambu. Alat ini biasanya digunakan untuk berbagai keperluan rumah tangga seperti menampi beras, menjemur rempah, hingga menyajikan hasil panen. Meskipun terlihat sederhana, proses pembuatannya memerlukan ketelitian yang tinggi dan keahlian yang tidak semua orang miliki.


Di sebuah nagari kecil di Agam, kita bisa bertemu dengan Pak Datuk Mangkuto (72), beliau adalah salah satu perajin anco yang masih aktif membuatnya secara manual. Tangannya yang mulai keriput masih sangat lincah menyusun anyaman bambu sambil sesekali mengingat masa-masa perjuangannya hidup dari hasil membuat anco.


“Dulu, hampir setiap rumah punya anco. Ibu-ibu pakai untuk menampi padi, sekarang tinggal sedikit yang memakainya,” ujarnya. Bagi Pak Datuk, anco bukan sekedar alat melainkan lambang ketekunan. Dalam proses menampi misalnya, dibutuhkan kesabaran dan teknik khusus agar gabah atau batu kecil dapat terpisah dari beras. Hal itu sejalan dengan filosofi hidup orang Minang, “manampiah diri dari yang buruk, menyisakan yang bersih dan berguna”.


Di era sekarang ini, anco mulai tergeser oleh alat-alat berbahan plastik dan mesin. Namun, beberapa komunitas budaya mulai mengangkat kembali eksistensinya lewat pelatihan anyaman, pameran kerajinan, hingga festival kuliner yang menghadirkan anco sebagai wadah penyaji makanan tradisional.

Bagi generasi muda, mengenal anco adalah mengenal jejak kehidupan leluhur mereka yang bersahaja namun sarat makna. Karena dari sehelai bambu yang dianyam dengan cinta, lahirlah warisan tak ternilai bagi identitas Minangkabau.



penulis: Eka Dhia Syafitri

editor: Muharni Zain

Previous Post Next Post