Di balik kepopuleran masakan Minangkabau yang kaya akan bumbu dan cita rasa pedas, ada satu alat tradisional yang menjadi penjaga rasa autentik: batu lado. Alat pengulek berbahan dasar batu ini masih setia hadir di dapur-dapur masyarakat Minang, meski zaman telah beralih ke teknologi modern.
Batu lado terdiri dari dua bagian utama, yaitu batu datar sebagai alas dan batu bulat memanjang sebagai penumbuk. Alat ini digunakan untuk menghaluskan cabai, bawang, dan aneka rempah yang menjadi dasar hampir semua masakan khas Sumatra Barat. Meskipun terlihat sederhana, batu lado memiliki peran penting dalam mempertahankan kekhasan rasa yang tak bisa digantikan oleh blender atau alat modern lainnya.
“Sambal kalau diulek di batu lado, aromanya beda. Lebih tajam, lebih sedap, dan cabainya nggak terlalu halus. Ada tekstur yang bikin sambal itu jadi lebih menggugah selera,” kata Uni Rika, pemilik rumah makan Padang di daerah Koto Gadang.
Tak hanya menghasilkan rasa yang khas, batu lado juga melambangkan kesabaran dan ketelatenan dalam memasak. Proses mengulek membutuhkan tenaga dan waktu, tetapi hasilnya dianggap jauh lebih memuaskan. Karena itu, batu lado masih menjadi pilihan utama bagi para juru masak tradisional, terutama saat memasak dalam skala besar untuk acara adat atau keluarga.
Meski begitu, penggunaan batu lado mulai menurun di kalangan generasi muda yang lebih menyukai kepraktisan. Banyak anak muda Minang yang kini jarang mengenal, apalagi menggunakan, alat ini. Hal ini menjadi perhatian tersendiri bagi para pegiat budaya dan kuliner.
Beberapa komunitas lokal di Sumatra Barat mulai aktif mengadakan pelatihan memasak tradisional dan festival kuliner untuk mengenalkan kembali batu lado dan alat dapur tradisional lainnya. Harapannya, generasi muda dapat menghargai dan melestarikan warisan leluhur ini.
Batu lado bukan hanya alat dapur, tapi simbol dari kearifan lokal, cinta terhadap tradisi, dan seni dalam meracik rasa. Di balik setiap ulekannya, tersimpan kisah dan rasa yang tak tergantikan.
penulis: Aisyah Mardhiyyah
editor: Muharni Zain