Halo sobat Gen Z! Di antara riuh rendah suara tawar-menawar dan hiruk-pikuk pasar tradisional, tercium aroma khas yang langsung mengingatkan pada dapur-dapur rumah zaman dulu—bau ikan asin yang sedang dijemur. Di salah satu lorong Pasar Padang Luar, Kabupaten Agam, Sumatera Barat, deretan tampah berisi ikan asin aneka jenis tersusun rapi di depan lapak-lapak kayu tua. Bau menyengatnya tak membuat orang menjauh, justru menjadi penanda bahwa rasa gurih khas laut tengah menunggu untuk dibawa pulang.
Di Sumatera Barat, ikan asin punya peran tersendiri dalam komposisi menu harian. Lauk ini menjadi pasangan pas untuk nasi hangat dan sambal, dan kerap muncul dalam masakan rumah seperti gulai daun singkong ikan talang, sambal ikan asin lado mudo, atau tumis teri cabai hijau. Kepraktisan dan rasa gurih yang khas membuatnya tetap relevan, meski teknologi kuliner terus berkembang.
Proses pembuatan ikan asin masih dijaga dengan metode tradisional. Ikan segar yang datang dari Pesisir Selatan dan Pariaman dibersihkan, lalu dilumuri garam kasar secara merata. Setelah itu, dijemur selama dua hingga empat hari di bawah panas matahari. Proses ini memerlukan perhatian dan pengalaman. Jika terlalu lama, ikan menjadi keras dan kering. Jika terlalu cepat, daya tahannya menurun.
“Satu jenis ikan bisa butuh perlakuan yang berbeda. Ikan talang misalnya, lebih tebal, jadi harus dijemur lebih lama dibanding teri atau sepat,” ujar Buk Asni (45 tahun), salah satu pedagang ikan asin di Pasar Padang Luar yang telah berjualan sejak 2010. Menurutnya, ikan asin bukan hanya soal pengawetan, tetapi juga soal rasa dan karakter.
Buk Asni menyebutkan bahwa pelanggan bisa membedakan ikan asin yang diolah dengan cara tradisional dan yang buatan pabrik. “Kalau bikinan sendiri, baunya tidak terlalu tajam. Asinnya pun pas, tidak bikin sakit tenggorokan. Kami tidak pakai pengawet. Hanya garam dan panas matahari,” jelasnya.
Di tengah pasar yang penuh dengan geliat aktivitas jual-beli, ikan asin tetap hadir sebagai simbol ketekunan. Ia bukan sekadar hasil laut yang diasinkan. Ia adalah kerja keras, rasa sabar, dan bagian dari identitas kuliner masyarakat. Pasar Padang Luar, dengan segala kesederhanaannya, menjadi tempat hidupnya tradisi tersebut.
Dari setiap tampah yang dijemur, dari setiap garam yang menempel di permukaan ikan, tersimpan rasa klasik yang tak tergantikan. Bau khasnya mungkin membuat sebagian orang mengernyit, tapi bagi banyak lainnya, itulah bau dari rumah bau dari masa kecil—bau yang tak lekang oleh zaman.
penulis: Qaren Haryi Anantasya
editor: Brenda Della Sanky