Padang – Sebagai daerah yang kaya akan warisan kuliner, Sumatra Barat tidak hanya dikenal melalui rendang dan sate Padang. Salah satu camilan tradisional yang kini mulai dikenal secara luas adalah onde-onde Minang—jajanan bulat beisi kelapa manis, dengan tepung ketan dan baluran kelapa parut.
Berbeda dengan onde-onde berwijen yang populer di daerah Jawa, onde-onde Minang punya ciri khas tersendiri, yaitu lembut, gurih dan manisnya pas. Saat ini, camilan ini tidak hanya ditemukan di Padang atau Bukittinggi saja, tetapi juga telah menyebar ke kota-kota besar seperti Jakarta, Surabaya bahkan, hingga Makassar. Di berbagai daerah, onde-onde ini juga mengalami banyak kreasi, seperti isian cokelat, keju dan bahkan durian.
Nuraini (43 tahun), warga asli Padang yang telah berjualan onde-onde sejak 2010 di daerah Lubuk Buaya mengaku tidak menyangka bahwa jajanan sederhananya ini bisa terkenal hingga luar daerah. "Waktu saya ke Pekanbaru, banyak yang minta dibawakan onde-onde. Akhirnya saya ajarkan mereka buat sendiri. Sekarang malah banyak yang jual juga di sana," ujarnya sambil tersenyum.
Ia juga menambahkan bahwa meskipun sekarang resep onde-onde banyak dimodifikasi, namun rasa asli Minang tetap penting."Yang penting rasanya masih kaya onde-onde kampung kita. Manisnya kelapa dan pulennya ketan itu enggak bisa diganti," kata Nuraini.
Sementara itu, Titik, seorang konten kreator kuliner asal Padang menilai bahwa onde-onde Minang adalah contoh bagaimana kuliner daerah bisa menjadi milik nasional. "Orang Minang merantau dan membawa makanannya. Lalu makanan itu berkembang dan dibuat juga oleh orang lain. Jadinya seperti milik bersama," ujarnya.
Titik juga menambahkan bahwa banyak UMKM yang kini menjual onde-onde dalam kemasan modern, dengan branding dan pemasaran lewat sosial media. “Ini salah satu cara melestarikan makanan tradisional namun etap mengikuti perkembangan zaman,” tambahnya.
Kini, onde-onde Minang telah menjelma jadi kuliner yang tidak hanya dinikmati masyarakat Sumbar, tetapi juga banyak digemari di seluruh Indonesia.
penulis: Silmi Alqonitah
editor: Muharni Zain